Selasa, 02 Desember 2008

Spiritualitas Baru Politik Islam

Spiritualitas Baru Politik Islam

Jum'at, 5 Januari 2007 - 11:47 wib
text TEXT SIZE :
ARIEF MUDATSIR - Okezone

Tanggal 5 Januari selalu merupakan hari istimewa bagi warga PPP. Pada tanggal itu—34 tahun lalu (1973)—PPP secara resmi berdiri.

Empat partai Islam yang ada saat itu, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU),Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menyatakan sepakat melakukan fusi dalam satu partai politik, yaitu PPP. Sejak itu, PPP sebagai representasi politik Islam tidak pernah absen dari realitas perpolitikan Indonesia.

Peran PPP yang seperti ini,tampaknya merupakan penegasan atas fakta sejarah yang penting bahwa memang politik Indonesia tidak pernah bisa dipisahkan dari keterlibatan kalangan santri di dalamnya.Bahkan,sejak sebelum kemerdekaan Indonesia tercapai, kaum santri sudah terlibat intensif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk dalam badan-badan persiapan kemerdekaan, seperti BPUPKI dan PPKI. Dalam semua episode sejarah ini, kaum santri telah memberikan andil yang tidak kecil dalam sejarah politik Indonesia.

Era Kegelisahan Partai Islam

Tak dapat dimungkiri, lahirnya PPP sebenarnya menandai satu era di mana kekuasaan rezim Soeharto mulai menancapkan kukunya dengan sangat kuat di peta perpolitikan Indonesia. PPP lahir sebagai bentuk kebijakan deideologisasi dan dealiranisasi politik. Secara politis,saat itu PPP dimunculkan sebagai kekuatan politik tetapi minus driving force-nya, ideologi. Itulah wajah PPP selama 32 tahun di bawah Soeharto. Setelah Soeharto jatuh pada 1998, berbagai kekuatan politik baru muncul ke permukaan dengan bendera dan ideologi yang beragam.

Pada Pemilu 1999, kekuatan Islam yang semula hanya diwakili satu parpol,PPP,membengkak menjadi 11 partai politik.Tetapi,banyaknya partai Islam ini sama sekali tidak menjadi jaminan bahwa partai Islam bisa memenangkan pemilu.Terbukti, dari 11 partai bersimbol Islam tersebut, total hanya mampu meraup suara 37%, itu pun sudah termasuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).Jika kedua partai ini tidak dimasukkan,perolehan suara partai Islam tinggal 17,5%. Situasi tersebut masih berlanjut dalam Pemilu 2004. Perolehan suara partai- partai Islam saat itu hanya berada di urutan ketiga, keempat dan seterusnya.

Sementara posisi dua besar, diraih partai nasionalis sekuler (PDIP dan Partai Golkar). Begitu juga dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, pasangan-pasangan calon yang diusung partai Islam, seperti Amien Rais-Siswono Yudhohusodo dan Hamzah Haz-Agum Gumelar, gagal melangkah di putaran kedua. Jadi, mengapa kekuatan Islam tidak pernah meraih kemenangan di panggung politik Indonesia? Ketika menulis pengantar buku Herbert Feith mengenai Pemilu 1955, HJ Benda mengatakan bahwa Islam ternyata tak sebegitu kuat dan bahwa kekuatan politik non-Islam ternyata berhasil memorakporandakan ”mitos mayoritas angka”.

Melihat si-tuasi demikian, tampaknya partai-partai Islam saat ini dihadapkan pada tantangan berat untuk mendefinisikan ulang peran dan kiprahnya di tengah realitas politik yang baru.

Quo Vadis PPP?

PPP adalah partai politik besar yang memiliki sejarah paling panjang dibanding partai-partai politik Islam lain di Indonesia.Tetapi, eksistensinya hingga kini tampak belum menunjukkan performa terbaiknya. Bahkan secara ideologis, PPP juga masih belum kokoh. Ia tampak masih berada dalam bayangbayang sejarah masa lalu yang ambigu. Karena pada awal kelahirannya sebagai kelanjutan dari partai-partai politik Islam, PPP menetapkan Islam sebagai asas partai, tetapi belakangan karena ada ketentuan yang mengharuskan semua parpol untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, maka PPP tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti ketentuan tersebut.

Dalam hubungan ini, Syamsuddin Haris mencatat sebagai partai yang pernah berasaskan Islam dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982). Secara politis maupun psikologis, perubahan asas ini sangat memengaruhi perilaku elite partai. Penerimaan Pancasila sebagai asas partai, telah menciptakan suasana keterasingan (alienasi) dan kegelisahan di kalangan partai. (Haris, 1991: 111).Terbukti, hari-hari setelah penerimaan Pancasila sebagai asas partai dilalui PPP dengan berbagai ketidakpastian. Hal itu antara lain tampak dalam Pemilu 1987,dari 85.809.816 (91,32%) suara sah yang masuk, ternyata hanya 13.701.428 pemilih, atau hanya 15,96% untuk PPP.

Kemerosotan besar yang dialami PPP ini menimbulkan pertanyaan,mengapa hal ini bisa terjadi? Syamsuddin Haris mencatat ada tiga faktor penyebab kemerosotan suara PPP. Pertama, diberlakukannya asas tunggal Pancasila. Kedua, sikap politik Nahdlatul Ulama (NU) yang melepaskan dukungannya kepada PPP.Ketiga,konflik internal yang berlangsung secara terus-menerus dalam kepemimpinan PPP. Melihat dan belajar dari sejarah PPP yang seperti ini, menjadi jelas bagi saya apa agenda yang mesti disiapkan oleh para kader dan pimpinan PPP untuk membawa PPP ke masa kejayaan.

Paling tidak, ada tiga hal yang mesti dilakukan oleh PPP (yang sudah saya tulis dalam Trilogi Pembaruan PPP, 2006). Pertama, secara ideologis harus ada revitalisasi ideologi.Jika Islam sudah dianggap final sebagai asas/ideologi partai,maka hal itu jangan hanya dimaknai secara normatif belaka, melainkan harus ditransformasikan hingga menjadi identitas serta energi gerak dan program partai.Artinya ideologi Islam harus bersifat operasional, menjadi paradigma yang strategis dalam merespons problem dan kebutuhan umat Islam dan rakyat Indonesia.

Kedua, dalam menerjemahkan asas/keislamannya, PPP harus mempertimbangkan konteks sosiologis di mana ia hidup.Di sinilah perspektif ke-Indonesiaan menjadi penting untuk ditegaskan. Asas Islam bagi PPP adalah final dan tepat, tetapi agar kehadiran Islam bisa benar-benar rahmatan lil alamin bagi masyarakat Indonesia, harus ditemukan corak Islam Indonesia yang bersifat inklusif, modern, dan bermartabat. Ketiga, dalam tataran yang lebih strategis dan operasional,PPP harus bisa menjadi institusi yang mampu mewujudkan kedaulatan rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi.

Hal ini bisa dilakukan, antara lain, melalui penguatan kelembagaan, pembenahan perundang-undangan, dan keterlibatan publik dalam setiap pengambilan kebijakan yang menyangkut kehidupan publik. Di arena ini, PPP harus hadir dan terlibat menjawab dan memecahkan persoalan umat. Hanya dengan melakukan kerja-kerja mendasar seperti ini PPP akan mampu menemukan spiritnya kembali sebagai eksponen politik Islam dalam belantara perpolitikan nasional Indonesia. Selamat Ulang Tahun ke 34 PPP.Wallahu a’lam. (SINDO/mbs)

Tidak ada komentar: