Selasa, 02 Desember 2008

Keinginan PPP Jadi Rumah Politik Umat Islam?

Imam Prihadiyoko

Sore itu, Rabu (17/1), di halaman parkir Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan di Jalan Diponegoro dipenuhi mobil. Di sepanjang pagar yang membatasi jalan dan halaman gedung DPP PPP, bendera partai dan spanduk Muktamar VI sudah terpasang.

Tampak lima kelompok kecil yang terdiri dari 3-6 orang terlibat pembicaraan serius di halaman depan kantor DPP PPP. Keseriusan itu tampak dari raut dan ekspresi wajah mereka ketika seseorang berbicara dan yang lain menjadi pendengar yang baik. Namun, ada pula satu kelompok yang sekadar bersenda gurau sambil mulut tak henti mengisap rokok.

Pada saat yang sama, di lantai II kantor DPP PPP berlangsung rapat finalisasi draf materi yang akan dibawa dalam muktamar. Selain panitia muktamar, pengurus DPP, Majelis Pertimbangan Partai, Majelis Syariah, Majelis Pakar, dan wakil dari departemen hadir memberikan masukan akhir draf muktamar.

Tampaknya, Muktamar VI PPP di Jakarta pada 30 Januari hingga 3 Februari telah menggerakkan kader dan pengurus PPP mendatangi kantor partai yang di hari biasa jarang dikunjungi itu. Kondisi ini sering dikeluhkan Wakil Ketua Umum Alimarwan Hanan, yang menjadi penjaga gawang kantor DPP.

Dalam tiga bulan terakhir, kandidat ketua umum pun mulai menggalang dukungan dengan mendatangi wilayah dan cabang di seluruh Indonesia. Selain mendatangi, ada juga kandidat yang didatangi cabang dari berbagai provinsi dan mengumpulkan calon pendukung dalam pertemuan terbatas, baik di Jakarta maupun di daerah. Bahkan, ada yang sudah mendeklarasikan diri ke publik tentang pencalonannya. Seperti yang dilakukan Arief Mudatsir Mandan, Eggi Sudjana, dan Yunus Yosfiah.

Ada juga kandidat ketua umum yang langsung bekerja mendekati tanpa deklarasi pencalonan, seperti Alimarwan Hanan, Dimyati Natakusumah, Endin AJ Soefihara, Hadimulyo, dan Suryadharma Ali. Namun, "deklarasi" pencalonan itu sudah dilakukan di kalangan internal. Terakhir muncul Zarkasih Noor.

Endin yang juga menjadi Ketua Panitia Pelaksana Muktamar VI mengatakan, PPP ingin menegaskan cita-cita besarnya untuk menjadi pionir dan pemersatu gerakan politik Islam. Empat unsur yang dipaksa fusi di masa lalu, dan fragmentasi aliran serta kelompok, harus bisa dijadikan kekuatan di masa depan. "Caranya, PPP harus betul-betul bisa menjadi partai umat Islam dengan menampung semua aliran yang ada. Semua aliran harus merasa nyaman di PPP," ujar Endin.

Selain pemersatu, Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Harian Pusat PPP Chosin Chumaidy mengatakan, Muktamar VI juga menginginkan munculnya konsep keserasian antara agama dan negara serta menegaskan kembali pentingnya pendidikan kewarganegaraan. "Kondisi kebangsaan kita sekarang sungguh menyedihkan, nasionalisme dianggap barang usang, dan partai belum banyak melakukan pendidikan politik yang terarah demi kemajuan bangsa," ujarnya.

Mayoritas yang minoritas

Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2006) terbitan Mizan menyebutkan, sejak awal pemerintahan Orde Baru, ejekan kepada umat Islam sebagai kelompok mayoritas tetapi minoritas teknis sering terdengar. "Ejekan" itu tampaknya masih terus berlangsung hingga kini. Bahkan, tidak jarang sering dikapitalisasi dan disebarkan dalam berbagai survei maupun pemaparan sejarah kegagalan partai Islam dalam meraih simpati umat Islam meskipun pada saat yang sama memang ada konflik politik di kalangan Muslim.

Sejarah perpecahan Islam secara politik sudah berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW wafat. Majid Fakhry (2001) dalam Sejarah Filsafat Islam terbitan Mizan menyebut perpecahan itu terkait dengan isu keabsahan pengganti nabi atau khalifah. Dan "dosa asal" inilah yang menyebabkan lahirnya banyak pengelompokan dalam Islam. Pasalnya, isu besar itu punya implikasi keagamaan dan politis yang masing-masing punya argumentasi dan pendukung yang tidak sedikit.

Dalam sejarah partai politik Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia telah menjadi partai penting pada era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an. Partai yang dibentuk pemerintahan militer Jepang tahun 1943 (John L Esposito, 2000) sering kali menjadi inspirasi penggabungan kelompok politik Islam Indonesia saat ini. Pada awal pendiriannya, Masyumi menjadi organisasi payung penting bagi organisasi Islam yang ada di Indonesia ketika itu.

Sayangnya, Masyumi melemah dengan alasan yang hampir sama dengan perpecahan kaum Muslimin sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Keabsahan pimpinan Masyumi dipertanyakan. Pimpinan Masyumi lebih banyak diambil dari kaum cendekiawan yang mampu berbahasa Belanda dan mengenyam pendidikan barat. Kondisi ini membuat ulama dari Nahdlatul Ulama terpinggirkan. Persaingan ini terus memuncak hingga akhirnya NU menyatakan keluar dari Masyumi tahun 1952 dan berakibat pengurangan suara pada Pemilu 1955.

Pemilu 1955 menempatkan Partai Nasional Indonesia di posisi puncak dengan dukungan 22,3 persen, diikuti Masyumi 20,9 persen, dan NU yang mendapat dukungan 18,4 persen dari pemilih.

Keterlibatan tokoh Masyumi pada pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat, Aceh, serta tempat lain pada pertengahan 1950-an, dan memuncak pada pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada awal tahun 1958, membuat pemerintahan Soekarno membubarkan Masyumi.

Naiknya Soeharto setelah Soekarno diturunkan pada tahun 1967 pada awalnya membangkitkan semangat mantan pemimpin Masyumi mendirikan lagi partai payung itu. Akhirnya mereka mendirikan Partai Muslimin Indonesia di Malang tahun 1968 dengan mengangkat tokoh senior Masyumi, Mohamad Roem, sebagai ketua.

Soeharto tidak merestui. Partai ini akhirnya kandas, tetapi tetap melanjutkan ide besar Masyumi dalam Dewan Dakwah Islam Indonesia.

Restrukturisasi sistem kepartaian Soeharto tahun 1973 hanya mengakui satu partai Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Soeharto memaksa empat parpol Islam berfusi, yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Menjelang Pemilu 1977, PPP berhasil memobilisasi sentimen keislaman dengan memakai lambang Kabah. Hasilnya, PPP memperoleh 29 persen suara di tingkat nasional dan mendapat suara tertinggi di Jakarta.

Pada Pemilu 1982, PPP mendapat 28 persen suara. Posisi seperti ini membuat pemerintahan Orde Baru khawatir, kemudian memaksa semua ormas dan partai menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan termasuk juga pemakaian simbol. PPP kemudian mengubah lambangnya menjadi bintang.

Dukungan pada PPP berkurang karena NU mempertanyakan keabsahan kepemimpinan partai dan alokasi kursi di parlemen. Kekecewaan ini membuat NU menarik dukungan dari PPP. Menjelang Pemilu 1987, NU aktif melakukan kampanye penggembosan PPP. Tidak heran jika suara PPP turun secara signifikan hingga tersisa 16 persen dari total suara. Pada Pemilu 1992, suara PPP di bawah kepemimpinan Ismail Hasan Metareum meningkat jadi 17 persen.

Meskipun dukungan terhadap partai Islam melemah, keislaman mulai mewarnai kehidupan birokrasi dan masyarakat (John L Esposito, 2000). Intensitas kegiatan keagamaan meningkat mulai tahun 1990-an. Partai Golkar yang menjadi partai pemerintah lebih Islami dibandingkan dengan sebelumnya. Bahkan kemudian tokoh Golkar dan mantan Masyumi di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mendirikan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Menjelang Pemilu 1997, PPP menawarkan wacana Mega-Bintang untuk menarik simpati pendukung Megawati Soekarnoputri yang kecewa dengan kepemimpinan Soerjadi di PDI. Ketika reformasi bergulir tahun 1998, PPP berhasil membawa sejumlah intelektual Islam bergabung dan mampu mempertahankan eksistensinya. Bahkan tetap masuk dalam jajaran parpol besar.

Dengan sejarah konflik yang cukup panjang, mungkinkah rumah besar politik Islam itu dibangun di PPP. PPP bukan Masyumi yang dibentuk Jepang, yang selalu diingat dengan perjuangan menggebu-gebu serta kegagalan mendirikan negara Islam di Konstituante. Namun, usaha nyata persatuan tetap bisa diusahakan.

Semangat kebangkitan Islam, penyatuan dan persaudaraan Muslimin secara ideologi sudah berakar lama. Bahkan bersamaan dengan munculnya konflik pertama dalam Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, keinginan untuk mempersatukan umat juga muncul.

Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2006) menyebutkan, demi prinsip persaudaraan yang fundamental, hubungan sesama Muslim yang berbeda paham atau tingkah laku sekundernya tak boleh terjadi dalam kerangka sikap absolutistik. Muslim harus punya sikap relativisme, seperti yang banyak dikutip dari Iman Abu Hanifah, bahwa saya benar, tetapi bisa salah. Dan orang lain salah, tetapi bisa benar.

Untuk itu, diperlukan sikap terbuka. Dalam berinteraksi "ideologis" sesama Muslim harus menyimpan dalam hati sikap "keraguan yang sehat". Sebuah sikap cadangan dalam pikiran dan siap sedia mengakui kebenaran orang lain jika memang ternyata benar dan mengakui kesalahan diri sendiri. Ini tidak mudah karena memerlukan tingkat ketulusan dan kejujuran yang sangat tinggi.

Apakah ini mungkin dilakukan politisi, yang punya dorongan mendapatkan kekuasaan yang kuat. Tidak mudah memang, tetapi kalau politisi Islam punya kesadaran persaudaraan ini, maka cita-cita umat untuk punya rumah besar bukan hal yang mustahil.

Tidak ada komentar: