Selasa, 02 Desember 2008

RI - Arab Saudi Jalin Pertukaran Pemuda

RI - Arab Saudi Jalin Pertukaran Pemuda

Rabu, 15 Oktober 2008 23:21
Kapanlagi.com - Indonesia dan Arab Saudi melakukan program pertukaran pemuda guna meningkatkan saling pengertian antar pemuda serta mengetahui kegiatan pemuda di kedua negara.

Keberangkatan ke-10 pemuda Indonesia (berasal dari organisasi kemasyarakatan pemuda/OKP dan Kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga) dilepas oleh Deputi I Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenegpora, Sakhyan Asmara, di Jakarta, Rabu (15/10).

OKP yang mengirimkan anggotanya tersebut adalah Angkatan Muda Ka`bah, Gerakan Pemuda Pembangunan Indonesia, Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Gerakan Pemuda Ka`bah, Kader Muda Demokrat, GP Ansor, Angkatan Muda Thareqat Indonesia dan Gema Mathia`ul Anwar.

Mereka akan berada di Arab Saudi hingga 24 Oktober 2008. Selanjutnya pada November 2009, giliran pemuda Arab Saudi yang akan mengunjungi Indonesia.

Menurut salah seorang peserta pertukaran pemuda, selama di Arab Saudi, para pemuda Indonesia antara lain akan melihat kegiatan wirausaha pemuda Arab Saudi. Hal itu karena para pemuda Arab Saudi tidak tertarik atau dibatasi dalam masalah politik.

Sementara itu Sakhyan Asmara mengatakan para pemuda tersebut juga akan melihat fasilitas yang disediakan oleh negara kepada para pemuda, serta mengunjungi objek penting lainnya.

Fasilitas itu antar lain yang terdapat di King Saud University, Stadion Internasional King Fahd, General Presidency of Youth Welfare, Kingdom Tower, Pusat Sejarah King Abdulaziz-King Abdul Aziz Foundation, masjid An-Nabawi, Komplek Percetakan Alquran King Fahad, Masjid Quba, dan tempat lainnya. (kpl/rif)

Delegasi Umat Islam Australia Berdialog dengan PPP

Delegasi Umat Islam Australia Berdialog dengan PPP

2 Nopember 2007 by admin

Jakarta (GP-Ansor): Sejumlah perwakilan komunitas muslim Australia hari Jumat menemui Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali guna berdialog dan meluruskan kekeliruan pandangan diantara umat Islam masing-masing negara.

Dalam pertemuan itu, yang berlangsung di kediaman dinas Suryadharma Ali di kompleks Menteri Widya Chandra III No 9, Jakarta, Suryadharma didampingi sejumlah Wasekjen PPP, diantaranya Roma Hurmuzi, Rustam Falani, Taufiqul Hadi dan Arwani.

Sementara delegasi intelektual Islam Australia dipimpin oleh Dr. Ameer Ali (Universitas Murdoch Perth), Sheik Shafiq Khan (Ketua Pusat Kebudayaan Islam Australia di Sydney), Amin Hadi (Imam Masjid Zetland Sydney). Imam Sabri Samson (Ketua Islamic Council of Tasmania dan Imam Masjid Hobart) dan Faiza El-Higzi (wakil juru bicara Queensland`s Muslim Community Reference Group).

“Kami diberitahu mass media (Australia) bahwa Indonesia adalah sarang teroris dan karenanya kami ingin melihat langsung bagaimana fakta sesungguhnya,” ujar Ameer Ali.

Namun, Ameer melanjutkan, dari hasil kunjungan yang mereka lakukan selama di Indonesia, yang ditemukan justru sebuah kondisi bahwa Indonesia merupakan contoh terbaik dalam mengelola keberagaman dan hidup bertoleransi.

“Toleransi itu merupakan hal yang sangat dikuasai masyarakat Indonesia sementara tidak ada yang mengajari mereka sebelumnya,” katanya seraya menambahkan bahwa hasil kunjungan itu nantinya juga akan disosialisasikan secara luas kepada komunitas Islam Australia.

Kepada Suryadharma, Ameer juga menjelaskan perihal praktek keagamaan di Australia yang sangat baik, walaupun Islam adalah minoritas tapi tidak ada hambatan bagi umatnya untuk beribadah sesuai keyakinan.

Demikian pula perhatian pemerintah Australia juga cukup besar bagi umat Islam setempat, seperti pemberiaan 8 juta dolar Australia untuk memulai pembangunan sekolah-sekolah Islam di Australia.

Sebagaimana di Indonesia, menurut Ameer, di Australia juga terdapat sejumlah kelompok Islam yang radikal. Namun yang terpenting dilakukan adalah bagaimana umat Islam di kedua negara itu saling menjembatani khilafiah yang ada.

Pada kesempatan itu, Ameer menjelaskan bahwa upaya mereka bersilaturahmi dengan komunitas Islam di Indonesia itu mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah Australia.

Sementara itu Suryadharma mengatakan bahwa dirinya sangat terharu dengan misi umat Islam Australia yang direstui pemerintah setempat, yakni untuk meluruskan pandangan yang belum lengkap tentang umat Islam di Indonesia oleh masyarakat Australia dan sebaliknya.

“Kita memang harus jelaskan kepada internasional yang terlanjur mencap Islam sebagai agama yang mengedepankan kekerasan atau terorisme. Pandangan semacam itu jelas salah besar,” kata Suryadharma yang juga Menkop dan UKM itu.

Menurut dia, kalaupun ada peristiwa masa lalu seperti bom bali yang pelakunya mengatas namakan Islam, jelas mereka tidak bisa merepresentasikan Islam secara keseluruhan.

Umat Islam, kata Suryadharma, merespon bom bali bukan dengan kegembiraan tapi dengan kutukan serta rasa sangat berduka dan malu atas peristiwa itu.

“Karenanya pertemuan semacam ini sangat penting untuk meluruskan pandangan masing-masing pihak yang selama ini ternyata banyak kekeliruan,” ujarnya.

Suryadharma juga mengungkapkan harapannya agar kedepan hubungan Indonesia-Australia bisa lebih rukun lagi sebagai sesama negara tetangga.

PPP, katanya lagi, juga akan berkirim surat kepada PMB Howard yang telah merestui komunitas Islam Australia untuk bersilaturahmi dengan saudaranya di Indonesia.

Selama di Indonesia, kalangan intelektual Islam Australia yang tiba di Indonesia sejak pekan lalu tersebut diantaranya telah menemui Menag Maftuh Basyuni, beraudiensi dengan dua ormas besar Indonesia, NU dan Muhammadiyah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Selain itu, mereka juga mengunjungi sejumlah pondok pesantren diantaranya di Tasikmalaya dan Universitas Islam di Bandung serta menemui fungsionaris PPP selaku salah satu parpol Islam yang signifikan di Indonesia.(ant/aji)

PPP Rangkul Akar Rumput

PPP Rangkul Akar Rumput
Berebut ‘Pasar Islam’ dalam Pemilu 2009 (5-Habis)
Ahluwalia
Suryadarma Ali
(iPhA/Abdul Rauf)

INILAH.COM, Jakarta – Konfik internal sering mengerdilkan partai politik berbasis Islam. Suryadharma Ali meredamnya dengan merangkul semua kelompok.

Analisa berbagai lembaga survei menyingkapkan kecenderungan semakin merosotnya partai Islam. Massa pendukung partai Islam akan beralih ke partai yang nasionalis religius.

Banyak hal jadi penyebabnya. Selain makin lunturnya fanatisme terhadap partai Islam, juga tersebab meningkatnya kecerdasan politik masyarakat. Selain itu, ada pula karena lemahnya program partai hingga faktor konflik internal.

Faktor terakhir ini lebih sering melanda partai politik, baik yang berasas Islam maupun nasional. Konflik biasanya terjadi karena rebutan jabatan di dalam partai. Hal ini karena belum dewasanya partai dalam menerima nilai demokrasi, dengan menghargai suara massa.

Jargon ‘siap kalah dan siap menang’ yang sering diucapkan dalam berpolitik baru sebatas retorika. Pihak yang menang terkadang menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan. Demikian pula dengan pihak yang kalah, ternyata tidak siap menerima kekalahan.

PPP menghadapi tugas berat. Terpilihnya Suryadharma Ali sebagai nakhoda partai Islam ini, diiringi tanggung jawab berat yang penuh tantangan. Tugas pertama yang mengadang adalah menjaga keutuhan partai ke depan pasca Hamzah Haz. Persaingan kandidat ketua dalam muktamar jangan sampai menimbulkan konflik internal, sehingga tidak terjadi penggembosan.

PPP hendaknya bisa mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu. Dulu PPP pernah ditinggal oleh NU karena kecewa dengan iklim politik yang ada. Akibatnya suara PPP dalam pemilu merosot tajam. Demikian pula dalam masa reformasi, tokoh-tokoh PPP banyak yang keluar karena kecewa dan kemudian mereka mendirikan partai baru (PBR).

Pendeknya, ketika ada kelompok yang dikecewakan atau karena saluran demokrasi tersumbat, muncullah konflik internal. Untuk itu betapa pentingnya komunikasi politik dalam rangka saling menghargai dan menghormati sebagai perwujudan dari ukhuwah islamiyah.

Kata kunci menjaga keutuhan partai Islam adalah dengan mengaktualisasikan persaudaraan Islam. Kalau nilai itu benar-benar ditegakkan dengan jujur, tentu tidak ada pihak yang merasa kalah dan menang. Dengan demikian semua kelompok yang ada dalam partai mendapat tugas yang sama menjaga nama baik partai sekaligus bersama-sama untuk membesarkannya.

Untuk itulah, dalam kerangka merangkul basis Islam tradisionalnya, PPP era Suryadharma mengutamakan kepentingan partai. Dia merangkul semua kelompok yang ada di PPP baik NU, Parmusi, PSII maupun Perti dan Muhammadiyah.

Suryadharma memasukan sejumlah tokoh NU dalam susunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) periode 2007-2012. Sebutlah KH Nur Muhammad Iskandar SQ, menjadi Wakil Ketua Majelis Syariah, mendampingi kiai sepuh KH Maemun Zubair sebagai ketua. Ketua Umum PP GP Ansor Saifullah Yusuf juga ditempatkaan di Majelis Pertimbangan Partai (MPP). Cak Ipul, panggilan akrab mantan Meneg Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) itu, dipercaya sebagai wakil ketua bersama Rhoma Irama.

Selain menempatkan tokoh NU, Suryadharma juga merangkul rival terdekatnya pada Muktamar PPP keenam. Arief Mudatsir Mandan dan Endin J Soefihara duduk di jajaran ketua. Sementara kubu Islam modernis (Muhammadiyah, Perti, Parmusi, PSII) dimasukkan ke dalam jajaran elite memalui akses Bachtiar Chamsyah dan kawan-kawan.

Di era Suryadarma, PPP mulai menggeliat, namun masih ada catatan penting yang harus ditunutaskan. Belum ada Badan Litbang yang kuat, tak ada platform mengenai Indonesia seperti apa yang diinginkan oleh PPP di masa depan.

Lalu, ekonomi macam apa yang mau dibangun: kapitalis, sosialis, ataukah campuran dengan bumbu rujak ala Islam? Ekonomi Neoliberalisme atau ekonomi pasar sosial? Apakah akan menjadi negara agama atau negara kebangsaan? Apakah mengejar pertumbuhan ataukah keadilan? Memihak konglomerat atau konglomelarat? Semua masih bisa dipertanyakan. Dan tugas DPP PPP untuk memberikan jawaban, sekalipun mungkin tak memuaskan. [Habis/I4]

Spiritualitas Baru Politik Islam

Spiritualitas Baru Politik Islam

Jum'at, 5 Januari 2007 - 11:47 wib
text TEXT SIZE :
ARIEF MUDATSIR - Okezone

Tanggal 5 Januari selalu merupakan hari istimewa bagi warga PPP. Pada tanggal itu—34 tahun lalu (1973)—PPP secara resmi berdiri.

Empat partai Islam yang ada saat itu, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU),Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menyatakan sepakat melakukan fusi dalam satu partai politik, yaitu PPP. Sejak itu, PPP sebagai representasi politik Islam tidak pernah absen dari realitas perpolitikan Indonesia.

Peran PPP yang seperti ini,tampaknya merupakan penegasan atas fakta sejarah yang penting bahwa memang politik Indonesia tidak pernah bisa dipisahkan dari keterlibatan kalangan santri di dalamnya.Bahkan,sejak sebelum kemerdekaan Indonesia tercapai, kaum santri sudah terlibat intensif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk dalam badan-badan persiapan kemerdekaan, seperti BPUPKI dan PPKI. Dalam semua episode sejarah ini, kaum santri telah memberikan andil yang tidak kecil dalam sejarah politik Indonesia.

Era Kegelisahan Partai Islam

Tak dapat dimungkiri, lahirnya PPP sebenarnya menandai satu era di mana kekuasaan rezim Soeharto mulai menancapkan kukunya dengan sangat kuat di peta perpolitikan Indonesia. PPP lahir sebagai bentuk kebijakan deideologisasi dan dealiranisasi politik. Secara politis,saat itu PPP dimunculkan sebagai kekuatan politik tetapi minus driving force-nya, ideologi. Itulah wajah PPP selama 32 tahun di bawah Soeharto. Setelah Soeharto jatuh pada 1998, berbagai kekuatan politik baru muncul ke permukaan dengan bendera dan ideologi yang beragam.

Pada Pemilu 1999, kekuatan Islam yang semula hanya diwakili satu parpol,PPP,membengkak menjadi 11 partai politik.Tetapi,banyaknya partai Islam ini sama sekali tidak menjadi jaminan bahwa partai Islam bisa memenangkan pemilu.Terbukti, dari 11 partai bersimbol Islam tersebut, total hanya mampu meraup suara 37%, itu pun sudah termasuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).Jika kedua partai ini tidak dimasukkan,perolehan suara partai Islam tinggal 17,5%. Situasi tersebut masih berlanjut dalam Pemilu 2004. Perolehan suara partai- partai Islam saat itu hanya berada di urutan ketiga, keempat dan seterusnya.

Sementara posisi dua besar, diraih partai nasionalis sekuler (PDIP dan Partai Golkar). Begitu juga dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, pasangan-pasangan calon yang diusung partai Islam, seperti Amien Rais-Siswono Yudhohusodo dan Hamzah Haz-Agum Gumelar, gagal melangkah di putaran kedua. Jadi, mengapa kekuatan Islam tidak pernah meraih kemenangan di panggung politik Indonesia? Ketika menulis pengantar buku Herbert Feith mengenai Pemilu 1955, HJ Benda mengatakan bahwa Islam ternyata tak sebegitu kuat dan bahwa kekuatan politik non-Islam ternyata berhasil memorakporandakan ”mitos mayoritas angka”.

Melihat si-tuasi demikian, tampaknya partai-partai Islam saat ini dihadapkan pada tantangan berat untuk mendefinisikan ulang peran dan kiprahnya di tengah realitas politik yang baru.

Quo Vadis PPP?

PPP adalah partai politik besar yang memiliki sejarah paling panjang dibanding partai-partai politik Islam lain di Indonesia.Tetapi, eksistensinya hingga kini tampak belum menunjukkan performa terbaiknya. Bahkan secara ideologis, PPP juga masih belum kokoh. Ia tampak masih berada dalam bayangbayang sejarah masa lalu yang ambigu. Karena pada awal kelahirannya sebagai kelanjutan dari partai-partai politik Islam, PPP menetapkan Islam sebagai asas partai, tetapi belakangan karena ada ketentuan yang mengharuskan semua parpol untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, maka PPP tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti ketentuan tersebut.

Dalam hubungan ini, Syamsuddin Haris mencatat sebagai partai yang pernah berasaskan Islam dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982). Secara politis maupun psikologis, perubahan asas ini sangat memengaruhi perilaku elite partai. Penerimaan Pancasila sebagai asas partai, telah menciptakan suasana keterasingan (alienasi) dan kegelisahan di kalangan partai. (Haris, 1991: 111).Terbukti, hari-hari setelah penerimaan Pancasila sebagai asas partai dilalui PPP dengan berbagai ketidakpastian. Hal itu antara lain tampak dalam Pemilu 1987,dari 85.809.816 (91,32%) suara sah yang masuk, ternyata hanya 13.701.428 pemilih, atau hanya 15,96% untuk PPP.

Kemerosotan besar yang dialami PPP ini menimbulkan pertanyaan,mengapa hal ini bisa terjadi? Syamsuddin Haris mencatat ada tiga faktor penyebab kemerosotan suara PPP. Pertama, diberlakukannya asas tunggal Pancasila. Kedua, sikap politik Nahdlatul Ulama (NU) yang melepaskan dukungannya kepada PPP.Ketiga,konflik internal yang berlangsung secara terus-menerus dalam kepemimpinan PPP. Melihat dan belajar dari sejarah PPP yang seperti ini, menjadi jelas bagi saya apa agenda yang mesti disiapkan oleh para kader dan pimpinan PPP untuk membawa PPP ke masa kejayaan.

Paling tidak, ada tiga hal yang mesti dilakukan oleh PPP (yang sudah saya tulis dalam Trilogi Pembaruan PPP, 2006). Pertama, secara ideologis harus ada revitalisasi ideologi.Jika Islam sudah dianggap final sebagai asas/ideologi partai,maka hal itu jangan hanya dimaknai secara normatif belaka, melainkan harus ditransformasikan hingga menjadi identitas serta energi gerak dan program partai.Artinya ideologi Islam harus bersifat operasional, menjadi paradigma yang strategis dalam merespons problem dan kebutuhan umat Islam dan rakyat Indonesia.

Kedua, dalam menerjemahkan asas/keislamannya, PPP harus mempertimbangkan konteks sosiologis di mana ia hidup.Di sinilah perspektif ke-Indonesiaan menjadi penting untuk ditegaskan. Asas Islam bagi PPP adalah final dan tepat, tetapi agar kehadiran Islam bisa benar-benar rahmatan lil alamin bagi masyarakat Indonesia, harus ditemukan corak Islam Indonesia yang bersifat inklusif, modern, dan bermartabat. Ketiga, dalam tataran yang lebih strategis dan operasional,PPP harus bisa menjadi institusi yang mampu mewujudkan kedaulatan rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi.

Hal ini bisa dilakukan, antara lain, melalui penguatan kelembagaan, pembenahan perundang-undangan, dan keterlibatan publik dalam setiap pengambilan kebijakan yang menyangkut kehidupan publik. Di arena ini, PPP harus hadir dan terlibat menjawab dan memecahkan persoalan umat. Hanya dengan melakukan kerja-kerja mendasar seperti ini PPP akan mampu menemukan spiritnya kembali sebagai eksponen politik Islam dalam belantara perpolitikan nasional Indonesia. Selamat Ulang Tahun ke 34 PPP.Wallahu a’lam. (SINDO/mbs)

Keinginan PPP Jadi Rumah Politik Umat Islam?

Imam Prihadiyoko

Sore itu, Rabu (17/1), di halaman parkir Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan di Jalan Diponegoro dipenuhi mobil. Di sepanjang pagar yang membatasi jalan dan halaman gedung DPP PPP, bendera partai dan spanduk Muktamar VI sudah terpasang.

Tampak lima kelompok kecil yang terdiri dari 3-6 orang terlibat pembicaraan serius di halaman depan kantor DPP PPP. Keseriusan itu tampak dari raut dan ekspresi wajah mereka ketika seseorang berbicara dan yang lain menjadi pendengar yang baik. Namun, ada pula satu kelompok yang sekadar bersenda gurau sambil mulut tak henti mengisap rokok.

Pada saat yang sama, di lantai II kantor DPP PPP berlangsung rapat finalisasi draf materi yang akan dibawa dalam muktamar. Selain panitia muktamar, pengurus DPP, Majelis Pertimbangan Partai, Majelis Syariah, Majelis Pakar, dan wakil dari departemen hadir memberikan masukan akhir draf muktamar.

Tampaknya, Muktamar VI PPP di Jakarta pada 30 Januari hingga 3 Februari telah menggerakkan kader dan pengurus PPP mendatangi kantor partai yang di hari biasa jarang dikunjungi itu. Kondisi ini sering dikeluhkan Wakil Ketua Umum Alimarwan Hanan, yang menjadi penjaga gawang kantor DPP.

Dalam tiga bulan terakhir, kandidat ketua umum pun mulai menggalang dukungan dengan mendatangi wilayah dan cabang di seluruh Indonesia. Selain mendatangi, ada juga kandidat yang didatangi cabang dari berbagai provinsi dan mengumpulkan calon pendukung dalam pertemuan terbatas, baik di Jakarta maupun di daerah. Bahkan, ada yang sudah mendeklarasikan diri ke publik tentang pencalonannya. Seperti yang dilakukan Arief Mudatsir Mandan, Eggi Sudjana, dan Yunus Yosfiah.

Ada juga kandidat ketua umum yang langsung bekerja mendekati tanpa deklarasi pencalonan, seperti Alimarwan Hanan, Dimyati Natakusumah, Endin AJ Soefihara, Hadimulyo, dan Suryadharma Ali. Namun, "deklarasi" pencalonan itu sudah dilakukan di kalangan internal. Terakhir muncul Zarkasih Noor.

Endin yang juga menjadi Ketua Panitia Pelaksana Muktamar VI mengatakan, PPP ingin menegaskan cita-cita besarnya untuk menjadi pionir dan pemersatu gerakan politik Islam. Empat unsur yang dipaksa fusi di masa lalu, dan fragmentasi aliran serta kelompok, harus bisa dijadikan kekuatan di masa depan. "Caranya, PPP harus betul-betul bisa menjadi partai umat Islam dengan menampung semua aliran yang ada. Semua aliran harus merasa nyaman di PPP," ujar Endin.

Selain pemersatu, Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Harian Pusat PPP Chosin Chumaidy mengatakan, Muktamar VI juga menginginkan munculnya konsep keserasian antara agama dan negara serta menegaskan kembali pentingnya pendidikan kewarganegaraan. "Kondisi kebangsaan kita sekarang sungguh menyedihkan, nasionalisme dianggap barang usang, dan partai belum banyak melakukan pendidikan politik yang terarah demi kemajuan bangsa," ujarnya.

Mayoritas yang minoritas

Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2006) terbitan Mizan menyebutkan, sejak awal pemerintahan Orde Baru, ejekan kepada umat Islam sebagai kelompok mayoritas tetapi minoritas teknis sering terdengar. "Ejekan" itu tampaknya masih terus berlangsung hingga kini. Bahkan, tidak jarang sering dikapitalisasi dan disebarkan dalam berbagai survei maupun pemaparan sejarah kegagalan partai Islam dalam meraih simpati umat Islam meskipun pada saat yang sama memang ada konflik politik di kalangan Muslim.

Sejarah perpecahan Islam secara politik sudah berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW wafat. Majid Fakhry (2001) dalam Sejarah Filsafat Islam terbitan Mizan menyebut perpecahan itu terkait dengan isu keabsahan pengganti nabi atau khalifah. Dan "dosa asal" inilah yang menyebabkan lahirnya banyak pengelompokan dalam Islam. Pasalnya, isu besar itu punya implikasi keagamaan dan politis yang masing-masing punya argumentasi dan pendukung yang tidak sedikit.

Dalam sejarah partai politik Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia telah menjadi partai penting pada era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an. Partai yang dibentuk pemerintahan militer Jepang tahun 1943 (John L Esposito, 2000) sering kali menjadi inspirasi penggabungan kelompok politik Islam Indonesia saat ini. Pada awal pendiriannya, Masyumi menjadi organisasi payung penting bagi organisasi Islam yang ada di Indonesia ketika itu.

Sayangnya, Masyumi melemah dengan alasan yang hampir sama dengan perpecahan kaum Muslimin sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Keabsahan pimpinan Masyumi dipertanyakan. Pimpinan Masyumi lebih banyak diambil dari kaum cendekiawan yang mampu berbahasa Belanda dan mengenyam pendidikan barat. Kondisi ini membuat ulama dari Nahdlatul Ulama terpinggirkan. Persaingan ini terus memuncak hingga akhirnya NU menyatakan keluar dari Masyumi tahun 1952 dan berakibat pengurangan suara pada Pemilu 1955.

Pemilu 1955 menempatkan Partai Nasional Indonesia di posisi puncak dengan dukungan 22,3 persen, diikuti Masyumi 20,9 persen, dan NU yang mendapat dukungan 18,4 persen dari pemilih.

Keterlibatan tokoh Masyumi pada pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat, Aceh, serta tempat lain pada pertengahan 1950-an, dan memuncak pada pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada awal tahun 1958, membuat pemerintahan Soekarno membubarkan Masyumi.

Naiknya Soeharto setelah Soekarno diturunkan pada tahun 1967 pada awalnya membangkitkan semangat mantan pemimpin Masyumi mendirikan lagi partai payung itu. Akhirnya mereka mendirikan Partai Muslimin Indonesia di Malang tahun 1968 dengan mengangkat tokoh senior Masyumi, Mohamad Roem, sebagai ketua.

Soeharto tidak merestui. Partai ini akhirnya kandas, tetapi tetap melanjutkan ide besar Masyumi dalam Dewan Dakwah Islam Indonesia.

Restrukturisasi sistem kepartaian Soeharto tahun 1973 hanya mengakui satu partai Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Soeharto memaksa empat parpol Islam berfusi, yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Menjelang Pemilu 1977, PPP berhasil memobilisasi sentimen keislaman dengan memakai lambang Kabah. Hasilnya, PPP memperoleh 29 persen suara di tingkat nasional dan mendapat suara tertinggi di Jakarta.

Pada Pemilu 1982, PPP mendapat 28 persen suara. Posisi seperti ini membuat pemerintahan Orde Baru khawatir, kemudian memaksa semua ormas dan partai menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan termasuk juga pemakaian simbol. PPP kemudian mengubah lambangnya menjadi bintang.

Dukungan pada PPP berkurang karena NU mempertanyakan keabsahan kepemimpinan partai dan alokasi kursi di parlemen. Kekecewaan ini membuat NU menarik dukungan dari PPP. Menjelang Pemilu 1987, NU aktif melakukan kampanye penggembosan PPP. Tidak heran jika suara PPP turun secara signifikan hingga tersisa 16 persen dari total suara. Pada Pemilu 1992, suara PPP di bawah kepemimpinan Ismail Hasan Metareum meningkat jadi 17 persen.

Meskipun dukungan terhadap partai Islam melemah, keislaman mulai mewarnai kehidupan birokrasi dan masyarakat (John L Esposito, 2000). Intensitas kegiatan keagamaan meningkat mulai tahun 1990-an. Partai Golkar yang menjadi partai pemerintah lebih Islami dibandingkan dengan sebelumnya. Bahkan kemudian tokoh Golkar dan mantan Masyumi di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mendirikan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Menjelang Pemilu 1997, PPP menawarkan wacana Mega-Bintang untuk menarik simpati pendukung Megawati Soekarnoputri yang kecewa dengan kepemimpinan Soerjadi di PDI. Ketika reformasi bergulir tahun 1998, PPP berhasil membawa sejumlah intelektual Islam bergabung dan mampu mempertahankan eksistensinya. Bahkan tetap masuk dalam jajaran parpol besar.

Dengan sejarah konflik yang cukup panjang, mungkinkah rumah besar politik Islam itu dibangun di PPP. PPP bukan Masyumi yang dibentuk Jepang, yang selalu diingat dengan perjuangan menggebu-gebu serta kegagalan mendirikan negara Islam di Konstituante. Namun, usaha nyata persatuan tetap bisa diusahakan.

Semangat kebangkitan Islam, penyatuan dan persaudaraan Muslimin secara ideologi sudah berakar lama. Bahkan bersamaan dengan munculnya konflik pertama dalam Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, keinginan untuk mempersatukan umat juga muncul.

Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2006) menyebutkan, demi prinsip persaudaraan yang fundamental, hubungan sesama Muslim yang berbeda paham atau tingkah laku sekundernya tak boleh terjadi dalam kerangka sikap absolutistik. Muslim harus punya sikap relativisme, seperti yang banyak dikutip dari Iman Abu Hanifah, bahwa saya benar, tetapi bisa salah. Dan orang lain salah, tetapi bisa benar.

Untuk itu, diperlukan sikap terbuka. Dalam berinteraksi "ideologis" sesama Muslim harus menyimpan dalam hati sikap "keraguan yang sehat". Sebuah sikap cadangan dalam pikiran dan siap sedia mengakui kebenaran orang lain jika memang ternyata benar dan mengakui kesalahan diri sendiri. Ini tidak mudah karena memerlukan tingkat ketulusan dan kejujuran yang sangat tinggi.

Apakah ini mungkin dilakukan politisi, yang punya dorongan mendapatkan kekuasaan yang kuat. Tidak mudah memang, tetapi kalau politisi Islam punya kesadaran persaudaraan ini, maka cita-cita umat untuk punya rumah besar bukan hal yang mustahil.

Tantangan kepemimpinan kaum Muda

Wacana kepemimpinan oleh kaum muda terus berembus kencang. "Saatnya kaum muda memimpin" bergerak menjadi narasi besar pada tahun ini. Gaungnya makin membumi tatkala Pemilu 2009 makin di depan mata. Kepemimpinan kaum muda menjadi sesuatu yang dirindukan kehadirannya. Lahir dari keresahan akan hegemoni kaum tua dalam lingkaran kepemimpinan nasional.

Hasrat itu kian menguat manakala menyaksikan kegagalan kaum tua dalam menata dan memberdayakan bangsa ini. Kaum tua dianggap telah membawa bangsa ini menuju jurang kehancuran yang kian dalam. Kepemimpinan kaum muda pun disodorkan sebagai solusi karena kaum muda dianggap memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas, kreativitas, progresivitas, dan idealisme. Keterbebasan kaum muda dari dosa masa lalu melahirkan harapan adanya komitmen moral untuk membangun bangsa ini secara lebih baik.

Kaum Muda di Pentas Dunia
Sebelum 'demam Obama' melanda dunia, kita sudah disuguhkan para pemimpin baru di pentas politik dunia yang memimpin negaranya sebelum mencapai usia 50 tahun. Dari Amerika Latin muncul Evo Morales, Presiden Bolivia yang berusia 49 tahun. Mahmoud Ahmadinejad terpilih menjadi Presiden Iran pada usia 49 tahun. Barack H. Obama yang sempat sekolah di sebuah sekolah dasar negeri di Menteng, Jakarta Pusat, kini dalam usianya yang ke 47 tahun, menjadi calon kuat presiden Amerika Serikat. Mereka bukan sekedar mengisi sejarah kepemimpinan negaranya, tetapi menjadi idola baru, simbol perlawanan dan juga harapan bangsanya.

Kendala Kaum Muda
Namun kepemimpinan kaum muda tentu saja bukan sesuatu yang mudah diraih. Terlebih sistem rekruitmen politik dan kepemimpinan nasional saat ini tidak cukup leluasa memberi ruang bagi kaum muda. Kaum muda Indonesia harus mampu menjawab tantangannya sendiri. Terdapat sejumlah kendala yang bisa menghadang kaum muda untuk tampil dan berperan dalam pentas politik Tanah Air. Pertama faktor pengalaman. Umumnya kaum muda bisa dibilang miskin pengalaman dalam "memikat" hati rakyat. Seseorang bisa tampil di panggung utama politik jika dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu kemampuan "memikat" hati rakyat menjadi sangat penting.

Statistik hasil pemilihan kepala daerah membuktikan kaum tua masih cukup dominan memenangi pilkada. Masyarakat belum yakin dengan kepemimpinan kaum muda karena belum cukup informasi dan bukti tentang kemampuan kaum muda.

Kedua, faktor "perlawanan" kaum tua yang masih memegang kuat hasrat kekuasaan mereka. Sudah pasti ini akan menghambat laju kaum muda menuju pentas utama politik baik di pusat maupun daerah. Ini dibuktikan dengan sering tenggelamnya isu kepemimpinan kaum muda dengan dalih tidak ada ketentuan perundangan soal usia pemimpin. Isu pemimpin muda juga sering ditekan dengan alasan kaum muda belum terbukti berhasil dalam kepemimpinan. Dari sudut sistem politik, sinyalemen itu bisa dibuktikan dengan membedah sistem dan mekanisme partai politik yang dirancang sedemikian sehingga sulit bagi kaum muda untuk menggeser posisi kaum tua.

Faktor ketiga adalah tantangan "mengendalikan" birokrasi manakala kaum muda sudah berhasil menggenggam kekuasaan. Kita bisa belajar dari kepemimpinan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) di Jawa Barat. Dibutuhkan waktu lebih dari 100 hari pemerintahan mereka untuk melakukan reformasi birokrasi. Ini tak lepas dari fakta bahwa lebih dari 90 persen level kepemimpinan di birokrasi adalah kaum tua yang banyak terkait persoalan masa lalu.

Gagasan Perubahan
Namun demikian meski menghadapi aneka tantangan di atas, kaum muda harus terus maju karena bangsa ini membutuhkan pemimpin baru yang memiliki semangat, idealisme, integritas, dan terutama komitmen moral untuk membangun bangsa. Kaum muda harus aktif memberi pencerahan politik sehingga masyarakat terlibat dalam arus revolusi kepemimpinan di bilik-bilik suara.

Sebagai langkah awal kaum muda harus memberi bukti kepada rakyat bahwa kaum muda membawa perubahan bangsa. Kita dapat belajar dari Barack Obama yang mampu memikat hati masyarakat AS, bahkan masyarakat dunia melalui penyampaian visi dan gagasan pembangunannya.

Jadi, kaum muda harus mulai membangun citra, menunjukkan potensi diri, berupaya meraih simpati rakyat, sehingga rakyat memilihnya sebagai wakil rakyat dan pemimpin.

Kaum muda juga perlu menggalang kekuatan dan solidaritas di antara sesama pemuda untuk membenahi rekruitmen politik. Saat ini solidaritas di kalangan aktivis pemuda masih terbelah dalam isu dan kepentingan sektoral. Kaum muda belum satu kata dalam menggalang visi kepemimpinan kaum muda di Indonesia.

Di tengah itu semua, ada juga kabar menggembirakan dengan masuknya para aktivis muda ke ruang publik melalui partai politik. Boleh jadi ini jalan pintas untuk menampilkan kepemimpinan kaum muda. Namun ke depan masalah rekruitmen politik harus menjadi agenda besar kaum muda. Rekrutmen politik menjadi sangat penting karena merupakan indikator yang sensitif dalam melihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam sebuah masyarakat politik. Memperbaiki rekrutmen politik berarti memuluskan jalan kaum muda menuju pentas politik nasional. Kini saatnya bagi kaum muda untuk merealisasikan gagasan perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.

KEBANGKITAN POLITIK KAUM MUDA

KEBANGKITAN POLITIK KAUM MUDA

Jum`at, 25 Juli 2008 21:49:58 - oleh : admin

Oleh : Achmad Aris

Deskripsi

Perdebatan mengenai dikotomi sosok pemimpin dari golongan tua dan golongan muda menjadi isu yang seksi dan menarik banyak perhatian. Buktinya, meskipun isu ini muncul kepermukaan seiring dengan momentum peringatan hari sumpah pemuda 28 Oktober 2007 namun hingga bulan November 2007 perdebatan terus saja mewarnai di berbagai media massa cetak maupun elektronik. Masing-masing kubu mencoba saling serang dengan cara membangun dan mempertahankan argumen masing-masing. Bahkan, Wapres JK pun yang notabene berasal dari golongan tua turun tangan dengan mengeluarkan statment yang cukup pedas yakni ”kaum muda jangan hanya meminta jatah kekuasaan kepada kaum tua karena itu menunjukkan lemahnya kaum muda sekarang, kalau berani rebut”. Statment JK pun secara tidak langsung telah menambuh genderang perang. Alih-alih mengurusi nasib bangsa yang sedang carut marut, Wapres justru membuang energi demi merespon sesuatu permasalahan yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin saja karena merasa posisinya terancam akibat wacana ”kepemimpinan kaum muda” sehingga JK pun merasa harus turun tangan padahal sikap tersebut justru menunjukkan ”ketidakdewasaan” JK sebagai seorang politisi.

Jelang pilpres 2009, semua isu yang berkaitan dengan Kekuasan menjadi suatu hal yang tidak luput dari perhatian semua pihak. Mulai dari pembahasan RUU politik, wacana calon independent, pencalonan capres dan wapres, koalisi antar partai, kepemimpinan kaum muda hingga manuver-manuver politik para elit. Akibatnya konstelasi politik domestik pun semakin meningkat. Gerakan politik kaum muda semakin gencar dilakukan mulai dari forum-forum diskusi, seminar, debat publik hingga berafiliasi dengan partai politik lama maupun partai politik baru. Kaum muda menganggap bahwa kepemimpinan kaum tua selama ini dianggap telah gagal sehingga sudah saatnya lah kaum muda yang memimpin baik itu ditingkatan pemerintah pusat maupun daerah.

Gelombang reformasi yang berhasil menumbangkan rezim otoritarian Soeharto ternyata belum mampu memberikan perubahan signifikan terhadap kondisi bangsa saat ini, sebagaimana yang di amanatkan dalam tuntutan reformasi yaitu penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Sudah sewindu reformasi berjalan, namun tanda-tanda akan terwujudnya keenam agenda reformasi tersebut masih jauh dari harapan. Capain dari program-program pemerintah paska reformasi 1998 hingga sekarang sebagai langkah merealisasikan ke-enam agenda reformasi tidak lebih hanya formalitas semu dan cenderung membias serta hanya menjadi komoditas politik saja.

Kepemimpinan nasional paska reformasi 1998 yang ternyata masih dipegang dan didominasi oleh actor-aktor lama “orde baru” yang notabene dari golongan tua disebut-sebut menjadi penyebab kegagalan gerakan reformasi 1998. Oleh karena itu, kaum muda merasa terpanggil untuk mengambil alih kendali kekuasaan. Kaum muda kemudian membangun konsolidasi dengan menamakan dirinya sebagai generasi kedua reformasi 1998 yang akan melakukan pelurusan tujuan reformasi yang selama ini telah diselewengkan oleh generasi pertama (golongan tua).

Selama ini memang kekuasaan di negeri ini cenderung dimonopoli oleh kaum tua sehingga kaum muda hanya diposisikan sebagai ”kacung”. Ini bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan yang membatasi usia minimal calon pemimpin ditambah lagi sistem regenerasi struktural partai politik yang tidak membuka ruang bagi kaum muda untuk menduduki pos-pos strategis. Terlebih lagi secara ideologis, telah terkonstruksi sebuah anggapan bahwa kaum muda yang melakukan aktivitas politik praktis maka akan di cap sebagai kaum muda yang pragmatis dan tidak idealis. Sehingga dalam konteks ini, kekuasaan adalah suatu hal yang tabu bagi kaum muda. Kaum muda hanya diposisikan sebagai secondery actor yang tidak mempunyai hak untuk membuat keputusan.

Kali ini memang kaum muda tidak mau tinggal diam melihat pemerkosaan atas hak-hak mereka oleh kaum tua untuk menjadi seorang pemimpin. Dan kaum tua pun juga tidak tinggal diam melihat terancamnya singgasana kekuasaan mereka yang selama puluhan tahun mereka duduki. Akibatnya, kedua kubu saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Kalau dulu para funding futhers bertarung memperebutkan kekuasaan melawan penjajah namun sekarang generasi penerus kemerdekaan justru terjebak pada perang saudara memperebutkan kekuasaan antara kaum muda dan kaum tua. Pada satu sisi ini adalah sebuah ironi, akan tetapi disisi lain ini menandakan kebangkitan politik kaum muda.

Di tengah perdebatan mengenai dikotomi kaum muda dan kaum tua yang terus bergulir dan menghangat, disaat yang bersamaan pula konstelasi politik saat ini menunjukkan adanya beberapa indikasi kebangkitan politik kaum muda sebagai bentuk perjuangan untuk merebut kekuasaan. Indikasi tersebut terlihat dari beberapa aktivitas :

  1. Di selenggarakannya PENA ‘ 98 (Pertemuan Nasional Aktivis 98) pada tanggal 27-29 Juli 2007 yang bertempat di Hotel Grand Cempaka Jakarta yang membahas bagaimana mekanisme gerak aktivis 98 dalam melakukan perebutan kekuasaan melalui pencalonan secara independent
  2. Pada bulan September 2007, beberapa politikus muda di Senayan membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet).
  3. Pada perayaan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2007 tokoh-tokoh muda seperti Sukardi Rinakit, Faisal Basri, Yudi Latif, Ray Rangkuti, Efendi Ghazali dan tokoh-tokoh kaum muda lainnya, mendeklarasikan Ikrar bersama: saatnya kaum muda memimpin, Gedung Arsip Nasional
  4. Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia yang bertujuan merevitalisasi semangat nasionalisme kaum muda, 28-30 Oktober 2007, Hotel Sahid Jakarta.
  5. Gerakan "Bangkit Indonesia", yang digagas Rizal Ramli, juga mengkampanyekan tema yang sama: kebangkitan kaum muda dengan Jalan Baru, Gedung Perpusnas 31 Oktober 2007.
  6. Adanya targetan perebutan kekuasaan secara menyeluruh oleh kaum muda pada pemilu 2014 yang di gagas oleh tokoh muda seperti M. Fadjrulrachman dan Ray Rangkuti.
  7. Berafiliasinya beberapa tokoh muda seperti Budiman Sudjatmiko dan Yusuf Lakaseng serta tokoh-tokoh muda lainnya ke dalam partai politik.

Tidak bisa dipungkiri bahwa secara histories perkembangan bangsa ini, tidak terlepas dari peran serta kaum muda mulai dari Sumpah Pemuda 1928, gerakan-gerakan mahasiswa pro-demokrasi yang menuntut perubahan sejak 1961, 1978 dan 1998. Semua itu menandai jejak historis adanya inter-relasi politik kaum muda dengan dinamika politik Indonesia. Beberapa pemimpin partai pada masa pra-kemerdekaan relatif berusia muda, seperti Soekarno, ketika memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI), Bung Hatta dan Syahrir ketika memimpin Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Tan Malaka ketika mendirikan Partai Murba, dan lain sebagainya. Namun, belakangan pemimpin partai relatif berusia tua. Di banyak negara, posisi kaum muda sebagai kelas menengah juga selalu memberi arti bagi perubahan sosial dan politik. Gerakan Bolsevik di Rusia, misalnya, didorong oleh kelas menengah perkotaan. Demikian juga kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki. Oleh sebab itu, tidak heran jika kemudian kaum pemuda saat ini merasa terpanggil untuk mengambil alih kepemimpinan nasional.

Momentum peringatan hari Sumpah Pemuda ke – 79 kali ini nampaknya telah menginisiasi kebangkitan poitik kaum muda untuk menegaskan kembali keberpihakannya sekaligus menumbuhkan kembali “ghiroh” perjuangannya yang selama ini terkesan mati suri dan hanya menempati posisi sebagai penonton dalam panggung perpolitikan nasional. Meskipun kondisi yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ketika hari sumpah pemuda diperingati, namun kali ini mengandung aura yang berbeda dimana kaum muda benar-benar ingin secara praksis menunjukkan eksistensinya.

Analisis

Kebangkitan politik kaum muda saat ini merupakan antitesis dari kegagalan kaum tua dalam menjalakan amanat reformasi 1998. Reformasi yang kita harapkan dapat memberi secercah harapan perubahan pada wilayah kultur politik dan menyentuh substansi demokrasi ternyata masih berada dalam wilayah prosedural demokrasi. Kultur politik kita masih bersalin rupa dari bentuk feodalisme politik Orde Baru menuju neo-feodalisme politik orde reformasi. Artinya, keberhasilan kaum muda dalam melengserkan rezim otoritarian Soeharto melalui gelombang reformasi 1998 yang tidak dibarengi dengan pola “cut generation” serta gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh kaum muda menyebabkan proses reformasi berjalan tidak sesuai dengan rel yang telah digariskan. Akibatnya kendali reformasi diambil alih oleh para komparador “antek-antek rezim orde baru” yang pada akhirnya hanya semakin memperburuk kondisi bangsa ini. Atas dasar itulah, kemudian kaum muda ingin merebut kepemimpinan nasional. Dengan kepemimpinan kaum muda akan menjadi sebuah harapan baru terhadap arah politik Indonesia agar dapat terealisasikan dengan cepat, dan perubahan kultur politik menjadi niscaya.

Meskipun kebangkitan politik kaum muda saat ini masih pada level ide dan gagasan serta strategi karena belum tampilnya sosok figur alternatif dari kaum muda menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, namun diharapkan ke depan ada langkah konkrit guna membumikan ide dan gagasan serta strategi tersebut. Kekosongan sosok figure pemimpin dari kaum muda harus secepatnya diatasi karena hal ini secara tidak langsung akan melapangkan jalan bagi politisi tua untuk kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2009.

Prediksi

Gerakan politik kaum muda dalam upayanya merebut kekuasaan dari kaum tua guna meluruskan semangat reformasi 1998, akan semakin gencar menjelang pemilu 2009 dan puncaknya akan terjadi pada pemilu 2014. Artinya, momen pemilu 2009 kemungkinan hanya akan menjadi test case saja sedangkan pada pemilu 2014 kaum muda benar-benar akan melakukan perebutan kekuasaan secara menyeluruh baik ditingkatan pusat maupun daerah.